2/11/17

Pengertian, Ciri-ciri, dan Karakteristik Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning)

Pengertian Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning)
Metode Discovery Learning adalah teori belajar yang didefinisikan sebagai proses pembelajaran yang terjadi bila pelajar tidak disajikan dengan pelajaran dalam bentuk finalnya, tetapi diharapkan mengorganisasi sendiri. Sebagaimana pendapat Bruner, bahwa: “Discovery Learning can be defined as the learning that takes place when the student is not presented with subject matter in the final form, but rather is required to organize it him self” (Lefancois dalam Emetembun, 1986:103). Dasar ide Bruner ialah pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan aktif dalam belajar di kelas.

Bruner memakai metode yang disebutnya Discovery Learning, di mana murid mengorganisasi bahan yang dipelajari dengan suatu bentuk akhir (Dalyono, 1996:41). Metode Discovery Learning adalah memahami konsep, arti, dan hubungan, melalui proses intuitif untuk akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan (Budiningsih, 2005:43). Discovery terjadi bila individu terlibat, terutama dalam penggunaan proses mentalnya untuk menemukan beberapa konsep dan prinsip. Discovery dilakukan melalui observasi, klasifikasi, pengukuran, prediksi, penentuan dan inferi. Proses tersebut disebut cognitive process sedangkan discovery itu sendiri adalah the mental process of assimilatig conceps and principles in the mind (Robert B. Sund dalam Malik, 2001:219).

Sebagai strategi belajar, Discovery Learning mempunyai prinsip yang sama dengan inkuiri (inquiry) dan Problem Solving. Tidak ada perbedaan yang prinsipil pada ketiga istilah ini, pada Discovery Learning lebih menekankan pada ditemukannya konsep atau prinsip yang sebelumnya tidak diketahui. Perbedaannya dengan discovery ialah bahwa pada discovery masalah yang diperhadapkan kepada siswa semacam masalah yang direkayasa oleh guru, sedangkan pada inkuiri masalahnya bukan hasil rekayasa, sehingga siswa harus mengerahkan seluruh pikiran dan keterampilannya untuk mendapatkan temuan-temuan di dalam masalah itu melalui proses penelitian.

Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning)
Problem Solving lebih memberi tekanan pada kemampuan menyelesaikan masalah. Akan tetapi prinsip belajar yang nampak jelas dalam Discovery Learning adalah materi atau bahan pelajaran yang akan disampaikan tidak disampaikan dalam bentuk final akan tetapi siswa sebagai peserta didik didorong untuk mengidentifikasi apa yang ingin diketahui dilanjutkan dengan mencari informasi sendiri kemudian mengorgansasi atau membentuk (konstruktif) apa yang mereka ketahui dan mereka pahami dalam suatu bentuk akhir.

Dengan mengaplikasikan metode Discovery Learning secara berulang-ulang dapat meningkatkan kemampuan penemuan diri individu yang bersangkutan. Penggunaan metode Discovery Learning, ingin merubah kondisi belajar yang pasif menjadi aktif dan kreatif. Mengubah pembelajaran yang teacher oriented ke student oriented. Mengubah modus Ekspositori siswa hanya menerima informasi secara keseluruhan dari guru ke modus Discovery siswa menemukan informasi sendiri.

Ciri-ciri Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning)
Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning) memiliki tiga ciri utama, yaitu:
1. mengeksplorasi dan memecahkan masalah untuk menciptakan, menggabungkan dan menggeneralisasi pengetahuan;
2. berpusat pada peserta didik;
3. kegiatan untuk menggabungkan pengetahuan baru dan pengetahuan yang sudah ada.

Karakteristik Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning)
Karakteristik dari Model Pembelajaran Penemuan atau Discovery Learning adalah sebagai berikut.
1. Peran guru sebagai pembimbing;
2. Peserta didik belajar secara aktif sebagai seorang ilmuwan;
3. Bahan ajar disajikan dalam bentuk informasi dan peserta didik melakukan kegiatan menghimpun, membandingkan, mengkategorikan, menganalisis, serta membuat   kesimpulan.

Konsep Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning)
Dalam Konsep Belajar, sesungguhnya metode Discovery Learning merupakan pembentukan kategori-kategori atau konsep-konsep, yang dapat memungkinkan terjadinya generalisasi. Sebagaimana teori Bruner tentang kategorisasi yang nampak dalam Discovery, bahwa Discovery adalah pembentukan kategori-kategori, atau lebih sering disebut sistem-sistem coding. Pembentukan kategori-kategori dan sistem-sistem coding dirumuskan demikian dalam arti relasi-relasi (similaritas & difference) yang terjadi diantara obyek-obyek dan kejadian-kejadian (events).

Bruner memandang bahwa suatu konsep atau kategorisasi memiliki lima unsur, dan siswa dikatakan memahami suatu konsep apabila mengetahui semua unsur dari konsep itu, meliputi:
1) Nama;
2) Contoh-contoh baik yang positif maupun yang negatif;
3) Karakteristik, baik yang pokok maupun tidak;
4) Rentangan karakteristik;
5) Kaidah

Bruner menjelaskan bahwa pembentukan konsep merupakan dua kegiatan mengkategori yang berbeda yang menuntut proses berpikir yang berbeda pula. Seluruh kegiatan mengkategori meliputi mengidentifikasi dan menempatkan contoh-contoh (obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa) ke dalam kelas dengan menggunakan dasar kriteria tertentu.

Di dalam proses belajar, Bruner mementingkan partisipasi aktif dari tiap siswa, dan mengenal dengan baik adanya perbedaan kemampuan. Untuk menunjang proses belajar perlu lingkungan memfasilitasi rasa ingin tahu siswa pada tahap eksplorasi. Lingkungan ini dinamakan Discovery Learning Environment, yaitu lingkungan dimana siswa dapat melakukan eksplorasi, penemuan-penemuan baru yang belum dikenal atau pengertian yang mirip dengan yang sudah diketahui. Lingkungan seperti ini bertujuan agar siswa dalam proses belajar dapat berjalan dengan baik dan lebih kreatif.

Untuk memfasilitasi proses belajar yang baik dan kreatif harus berdasarkan pada manipulasi bahan pelajaran sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif siswa. Manipulasi bahan pelajaran bertujuan untuk memfasilitasi kemampuan siswa dalam berpikir (merepresentasikan apa yang dipahami) sesuai dengan tingkat perkembangannya.

Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh bagaimana cara lingkungan, yaitu: enactive, iconic, dan symbolic. Tahap enaktive, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya untuk memahami lingkungan sekitarnya, artinya, dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motorik, misalnya melalui gigitan, sentuhan, pegangan, dan sebagainya. Tahap iconic, seseorang memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komparasi). Tahap symbolic, seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui simbol-simbol bahasa, logika, matematika, dan sebagainya.

Komunikasinya dilakukan dengan menggunakan banyak simbol. Semakin matang seseorang dalam proses berpikirnya, semakin dominan sistem simbolnya. Secara sederhana teori perkembangan dalam fase enactive, iconic dan symbolic adalah anak menjelaskan sesuatu melalui perbuatan (ia bergeser ke depan atau kebelakang di papan mainan untuk menyesuaikan beratnya dengan berat temannya bermain) ini fase enactive. Kemudian pada fase iconic ia menjelaskan keseimbangan pada gambar atau bagan dan akhirnya ia menggunakan bahasa untuk menjelaskan prinsip keseimbangan ini fase symbolic (Syaodih, 85:2001).

Dalam mengaplikasikan metode Discovery Learning guru berperan sebagai pembimbing dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar secara aktif, sebagaimana pendapat guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan (Sardiman, 2005:145). Kondisi seperti ini ingin merubah kegiatan belajar mengajar yang teacher oriented menjadi student oriented.

Hal yang menarik dalam pendapat Bruner yang menyebutkan: hendaknya guru harus memberikan kesempatan muridnya untuk menjadi seorang problem solver, seorang scientis, historin, atau ahli matematika. Dalam metode Discovery Learning bahan ajar tidak disajikan dalam bentuk akhir, siswa dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan menghimpun informasi, membandingkan, mengkategorikan, menganalisis, mengintegrasikan, mereorganisasikan bahan serta membuat kesimpulan-kesimpulan.
Hal tersebut memungkinkan murid-murid menemukan arti bagi diri mereka sendiri, dan memungkinkan mereka untuk mempelajari konsep-konsep di dalam bahasa yang dimengerti mereka. Dengan demikian seorang guru dalam aplikasi metode Discovery Learning harus dapat menempatkan siswa pada kesempatan-kesempatan dalam belajar yang  lebih mandiri. Bruner mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya (Budiningsih, 2005:41).

Pada akhirnya yang menjadi tujuan dalam metode Discovery Learning menurut Bruner adalah hendaklah guru memberikan kesempatan kepada muridnya untuk menjadi seorang problem solver, seorang scientist, historian, atau ahli matematika. Melalui kegiatan tersebut siswa akan menguasainya, menerapkan, serta menemukan hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya.

Karakteristik yang paling jelas mengenai Discovery sebagai metode mengajar ialah bahwa sesudah tingkat-tingkat inisial (pemulaan) mengajar, bimbingan guru hendaklah lebih berkurang dari pada metode-metode mengajar lainnya. Hal ini tak berarti bahwa guru menghentikan untuk memberikan suatu bimbingan setelah problema disajikan kepada pelajar. Tetapi bimbingan yang diberikan tidak hanya dikurangi direktifnya melainkan pelajar  diberi responsibilitas yang lebih besar untuk belajar sendiri.

Kelebihan dan Kelemahan Penerapan Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning)
Berdasarkan fakta dan hasil pengamatan, penerapan pendekatan Discovery Learning dalam pembelajaran memiliki kelebhihan-kelebihan dan kelemahan-kelemahan.

1. Kelebihan Penerapan Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning)
a. Membantu siswa untuk memperbaiki dan meningkatkan keterampilan-keterampilan dan proses-proses kognitif. Usaha penemuan merupakan kunci dalam proses ini, seseorang tergantung bagaimana cara belajarnya.
b. Pengetahuan yang diperoleh melalui metode ini sangat pribadi dan ampuh karena menguatkan pengertian, ingatan dan transfer.
c. Menimbulkan rasa senang pada siswa, karena tumbuhnya rasa menyelidiki dan berhasil.
d. Metode ini memungkinkan siswa berkembang dengan cepat dan sesuai dengan kecepatannya sendiri.
e. Menyebabkan siswa mengarahkan kegiatan belajarnya sendiri dengan melibatkan akalnya dan motivasi sendiri.
f. Metode ini dapat membantu siswa memperkuat konsep dirinya, karena memperoleh kepercayaan bekerja sama dengan yang lainnya.
g. Berpusat pada siswa dan guru berperan sama-sama aktif mengeluarkan gagasan-gagasan. Bahkan gurupun dapat bertindak sebagai siswa, dan sebagai peneliti di dalam situasi diskusi.
h. Membantu siswa menghilangkan skeptisme (keragu-raguan) karena mengarah pada  kebenaran yang final dan tertentu atau pasti.
i. Siswa akan mengerti konsep dasar dan ide-ide lebih baik.
j. Membantu dan mengembangkan ingatan dan transfer kepada situasi proses belajar  yang baru.
k. Mendorong siswa berpikir dan bekerja atas inisiatif sendiri.
l. Mendorong siswa berpikir intuisi dan merumuskan hipotesis sendiri.
m. Memberikan keputusan yang bersifat intrinsic.
n. Situasi proses belajar menjadi lebih terangsang.
o. Proses belajar meliputi sesama aspeknya siswa menuju pada pembentukan manusia  seutuhnya.
p. Meningkatkan tingkat penghargaan pada siswa.
q. Kemungkinan siswa belajar dengan memanfaatkan berbagai jenis sumber belajar.
r. Dapat mengembangkan bakat dan kecakapan individu.

2. Kelemahan Penerapan Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning)
a. Metode ini menimbulkan asumsi bahwa ada kesiapan pikiran untuk belajar. Bagi siswa yang kurang pandai, akan mengalami kesulitan abstrak atau berpikir atau mengungkapkan hubungan antara konsep-konsep, yang tertulis atau lisan, sehingga pada gilirannya akan menimbulkan frustasi.
b. Metode ini tidak efisien untuk mengajar jumlah siswa yang banyak, karena membutuhkan waktu yang lama untuk membantu mereka menemukan teori atau pemecahan masalah lainnya.
c. Harapan-harapan yang terkandung dalam metode ini dapat buyar berhadapan dengan siswa dan guru yang telah terbiasa dengan cara-cara belajar yang lama.
d. Pengajaran discovery lebih cocok untuk mengembangkan pemahaman, sedangkan mengembangkan aspek konsep, keterampilan dan emosi secara keseluruhan kurang mendapat perhatian.
e. Pada beberapa disiplin ilmu, misalnya IPA kurang fasilitas untuk mengukur gagasan yang dikemukakan oleh para siswa
f. Tidak menyediakan kesempatan-kesempatan untuk berpikir yang akan ditemukan oleh siswa karena telah dipilih terlebih dahulu oleh guru.

Langkah-langkah Penerapan Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning)
Berikut ini langkah-langkah dalam mengaplikasikan model discovery learning di kelas.
1. Persiapan Metode Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning)
a. Menentukan tujuan pembelajaran.
b. Melakukan identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awal, minat, gaya 
     belajar, dan sebagainya).
c. Memilih materi pelajaran.
d. Menentukan topik-topik yang harus dipelajari siswa secara induktif (dari
    contoh-contoh generalisasi).
e. Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contoh-contoh, ilustrasi,
    tugas dan sebagainya untuk dipelajari siswa.
f. Mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari yang
    konkret ke abstrak, atau dari tahap enaktif, ikonik sampai ke simbolik.
g. Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa

2. Pelaksanaan Metode Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning)
a. Stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan)
Pertama-tama pada tahap ini pelajar dihadapkan pada sesuatu yang menimbulkan kebingungannya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi generalisasi, agar timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri. Disamping itu guru dapat memulai kegiatan PBM dengan mengajukan pertanyaan, anjuran membaca buku, dan aktivitas belajar lainnya yang mengarah pada persiapan pemecahan masalah. Stimulasi pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan kondisi interaksi belajar yang dapat mengembangkan dan membantu siswa dalam mengeksplorasi bahan.

b.  Problem statement (pernyataan/identifikasi masalah)
Setelah dilakukan stimulasi langkah selanjutya adalah guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda-agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas pertanyaan masalah)

c.  Data collection (Pengumpulan Data)
Ketika eksplorasi berlangsung guru juga memberi kesempatan kepada para siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis (Syah, 2004:244). Pada tahap ini berfungsi untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar tidaknya  hipotesis, dengan demikian anak didik diberi kesempatan untuk mengumpulkan (collection) berbagai informasi yang relevan, membaca literatur, mengamati objek, wawancara dengan nara sumber, melakukan uji coba sendiri dan sebagainya.

d.  Data Processing (Pengolahan Data)
Menurut Syah (2004:244) pengolahan data merupakan kegiatan mengolah data dan informasi yang telah diperoleh para siswa baik melalui wawancara, observasi, dan sebagainya, lalu ditafsirkan. Semua informai hasil bacaan, wawancara, observasi, dan sebagainya, semuanya diolah, diacak, diklasifikasikan, ditabulasi, bahkan bila perlu dihitung dengan cara tertentu serta ditafsirkan pada tingkat kepercayaan tertentu

e.  Verification (Pembuktian)
Pada tahap ini siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dengan temuan alternatif, dihubungkan dengan hasil data processing (Syah, 2004:244). Verification menurut Bruner, bertujuan agar proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya.

f.  Generalization (menarik kesimpulan/generalisasi)
Tahap generalisasi/ menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi (Syah, 2004:244). Berdasarkan hasil verifikasi maka  dirumuskan prinsip-prinsip yang mendasari generalisasi

Sistem Penilaian Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning)
Dalam  Model  Pembelajaran Discovery  Learning,  penilaian  dapat  dilakukan  dengan  menggunakan  tes maupun  nontes,  sedangkan  penilaian  yang  digunakan  dapat  berupa  penilaian  kognitif,  proses,  sikap,  atau penilaian  hasil  kerja  siswa.  Jika  bentuk  penialainnya  berupa  penilaian  kognitif, maka  dalam  model pembelajaran discovery learning dapat menggunakan tes tertulis.  Jika bentuk penilaiannya  menggunakan penilaian  proses,  sikap,  atau  penilaian  hasil  kerja  siswa,  maka  pelaksanaan penilaian   dapat  menggunakan contoh-contoh format penilaian seperti tersebut di bawah ini.

1. Penilaian Tertulis
Penilaian    tertulis  merupakan  tes  dimana  soal  dan  jawaban  yang  diberikan  kepada peserta  didik  dalam  bentuk  tulisan.  Dalam  menjawab  soal  peserta  didik  tidak  selalu merespon  dalam  bentuk  menulis  jawaban  tetapi  dapat  juga  dalam  bentuk  yang  lain seperti  memberi  tanda,  mewarnai,  menggambar  dan  lain  sebagainya. Ada  dua  bentuk soal  tes tertulis, yaitu berikut ini
1. Soal dengan memilih jawaban.
a. pilihan ganda
b. dua pilihan (benar-salah, ya-tidak)
c. menjodohkan
2. Soal dengan mensuplai-jawaban.
a. isian atau melengkapi
b. jawaban singkat
c. soal uraian

Dari berbagai alat penilaian tertulis, tes memilih jawaban benar-salah, isian singkat, dan menjodohkan  merupakan  alat  yang  hanya  menilai  kemampuan  berpikir  rendah,  yaitu kemampuan mengingat (pengetahuan). Tes pilihan ganda dapat digunakan untuk menilai kemampuan  mengingat  dan  memahami.  Pilihan  ganda  mempunyai  kelemahan,  yaitu peserta didik tidak mengembangkan sendiri jawabannya tetapi cenderunghanya memilih jawaban yang benar dan jika peserta didik tidak mengetahui jawaban yang benar, maka peserta didik akan menerka.

Hal  ini  menimbulkan  kecenderungan  peserta  didik  tidak  belajar  untuk  memahami pelajaran tetapi menghafalkan soal dan jawabannya. Alat penilaian ini kurang dianjurkan pemakaiannya dalam penilaian kelas karena tidak menggambarkan kemampuan peserta didik yang sesungguhnya.

Tes  tertulis  bentuk  uraian  adalah  alat  penilaian  yang  menuntut  peserta  didik  untuk mengingat,  memahami,  dan  mengorganisasikan  gagasannya  atau  hal-hal  yang  sudah dipelajari,  dengan  cara  mengemukakan  atau  mengekspresikan  gagasan  tersebut  dalam bentuk uraian tertulis dengan menggunakan kata-katanya sendiri. Alat ini dapat menilai berbagai  jenis  kemampuan,  misalnya  mengemukakan  pendapat,  berpikir  logis,  dan menyimpulkan.Kelemahan alat ini antara lain cakupan materi yang ditanyakan terbatas.

Dalam menyusun instrumen penilaian tertulis perlu dipertimbangkan hal-hal berikut:
a. materi, misalnya kesesuian soal dengan indikatorpada kurikulum;
b. konstruksi, misalnya rumusan soal atau pertanyaan harus jelas dan tegas.
c. bahasa,  misalnya  rumusan  soal  tidak  menggunakan  kata/  kalimat  yang menimbulkanpenafsiran ganda.

2. Penilaian Diri
Penilaian  diri  (self  assessment)  adalah  suatu  teknik  penilaian,  subyek  yang  ingin  dinilai diminta  untuk  menilai  dirinya  sendiri  berkaitan  dengan,  status,    proses  dan  tingkat pencapaian kompetensi yang dipelajarinya dalam mata pelajaran tertentu.
Teknik  penilaian  diri  dapat  digunakan  dalam  berbagai  aspek  penilaian,  yang  berkaitan dengan kompetensi kognitif, afektif dan psikomotor. Dalam proses pembelajaran di kelas, berkaitan  dengan  kompetensi  kognitif,  misalnya:  peserta  didik  dapat  diminta  untuk menilai  penguasaan  pengetahuan  dan  keterampilan  berpikir  sebagai  hasil  belajar  dalam mata pelajaran tertentu, berdasarkan kriteria atau acuan yang telah disiapkan. Berkaitan  dengan  kompetensi  afektif,  misalnya,  peserta  didik  dapat  diminta  untuk membuat  tulisan  yang  memuat  curahan  perasaannya  terhadap  suatu  obyek  sikap

Proses penilaian dalam penerapan Model Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan selain menggunakan jenis penilaian tertulis dan penilian diri, dapat juga dilakukan melalui penilaian kinerja, penilaian produk dan penilaian sikap.

***

Sumber:  Model Pembelajaran Penemuan - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Silakan Tinggalkan Komentar Anda :